Selasa, 06 November 2012



Kenapa manusia berkomunikasi ?
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Jika orang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya ia akan merasa terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh dari keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Sepenjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi.
Profesor Wilbur Schramm menyebut bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi (Schramm; 1982)
Menurut teori dasar Biologi manusia ingin berkomunikasi dengan manusia lainnya itu karena adanya dua kebutuhan, yakni kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Harold D.Lasswell salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik menyebut tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab, mengapa manusia perlu berkomunikasi :
1.      Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya serta menghadapi segala ancaman yang akan menimpa alam sekitarnya. Bahkan dengan komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya dengan cara belajar dari pengalaman ataupun informasi yang didapat dari lingkungannya.
2.      Upaya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat itu adalah bagaimana selanjutnya beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian ini dilakukan agar manusia hidup dalam suasana yang harmonis
3.      Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka mereka dituntut untuk melakukan pewarisan nilai-nilai yang ada. Misalnya bagaimana orangtua mengajarkan tata karma yang baik kepada anaknya, media massa menyalurkan pesan kepada khalayak.
Professor David K.Berlo dari Michigan State University menyebutkan secara ringkas bahwa komunikasi sebgai instrument dan interaksi yang berguna untuk mengetahui dan memprediksi sikap orang lai, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam mencipatakan keseimbangan dalam masyarakat. (Byrnes, 1965)
Jadi proses komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan komunikasi kita bisa mengatur tata karma, mewariskan kebudayaan dll. Bisa dikatakan untuk sekarang ini keberhasilan seseorang tergantung bagaimana proses komunikasi yang ia lakukan.

Ada beberapa alasan komunikasi dipandang penting, diantaranya:
Untuk Pertumubuhan Kepribadian.
Pada aba ke 13, seorang kaisar Kerajaan Romawi yang Suci, Frederick II, mengadakan eksperimen yang menarik. Ia ingin mengetahui –bukan saja dia tapi kita juga penasran ingin tahu – apakah  bahasa yang akan digunakan oleh anak-anak, bila kepada mereka tidak diajarkan bahasa apa pun pada tahun-tahun kehidupan mereka. Ia memilih beberapa orang bayi dan merawatnya dalam satu tempat yang khusus. Bayi-bayi itu dipelihara sebagaimana layaknya – dimandikan, dirawat dan disusui. Tetapi tidak seorang pun diperbolehkan berbicara, bersenandung, menyanyikan lagu pengantar tidur buat mereka atau sekedar mengelurakan bunyi. Selidik punya selidik, semua anak yang dirawat itu meninggal secara misterius dan sangat mengganaskan, dan eksperimen ini dihentikan dan tidak pernah diulangi.

Eksperimen Frederik tidak dapat menjelaskan bagaimana kita bisa berbahasa. Tapi kepada kita, peristiwa malang itu memberi gambaran bahwa untuk dapat hidup dan menjadi manusia, komunikasi sangat dibutuhkan. Komunikasi amat esensial buat pertumbuhan kepribadian manusia. Ahli-ahli ilmu sosial terlalu sering mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian (Davis dan Wasserman dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004:2). Antropolog kenamaan, Ashley Montagu, dengan tegas menulis: “The most important agency through which the child learns to be human is communication, verbal also non verbal”.

Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial, dan mengembangkan kepribadiannya. Seperti dinyatakan Ashley di atas, kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Anak kecil hanyalah seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tendangan atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan orang disekitarnya, terbentuklah perlahan-lahan apa yang kita sebut kepribadian. Bagaimana ia menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia menyampaikan pesannya kepada orang lain, menentukan kepribadiannya. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebencian bila si anak memahaminya sebagai usaha si ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayahnya telah ia rebut.

Komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi kita menemukan diri kita mengembangkan konsep diri dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Hubungan kita dengan oarng lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan Anda, bila pesan Anda menjengkelkan mereka, bila Anda tidak berhasil mengatasi masalah pelik karena orang lain menentang pendapat Anda dan tidak mau membantu Anda, bila semakin sering Anda bekomunikasi semakin jauh jarak Anda dengan mereka. Anda akan membentuk kepribadian Anda dengan mengatakan “Saya memang orang yang tidak dapat membuat orang mengerti, saya bukan perayu”. Dalam psikologi, ini disebut dengan “self concept”-konsep diri. “You don’t think what you are, you are what you think”. Anda tidak bisa berpikir siapa anda, Anda adalah apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda”. “If you think you are foolish you will be foolish”, jika Anda berpikir bahwa Anda tolol maka Anda pasti tolol.

Untuk Membentuk Konsep Diri.
Bagaimana kita, sangat ditentukan bagaimana orang lain memandang kita. Dan bagaimana orang lain memandang kita sangat ditentukan oleh penyajian diri kita (self-presentation). Kita sudah mengetahui orang lain menilai kita berdasarkan petunjuk-petunjuk yang kita berikan; dan dari penilaian itu mereka memperlakukan kita. Bila mereka menilai kita berstatus rendah, kita tidak mendapatkan pelayanan istimewa. Bila kita dianggap bodoh, mereka akan mengatur kita. Bila mereka mengetahui kita lemah, mereka akan memperbudak kita. Untuk itu, kita secara sengaja menampilkan diri kita (self-presentation) seperti yang kita kehendaki. Dalam menyajikan diri, kita berusaha menampilkan petunjuk-petunjuk tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu pada diri penanggap. Erving Goffman menyebut proses ini sebagai impression management (pengelolaan kesan).

Kita memasang dasi, memakai kemeja Pierre de Cardin, menenteng tas President, dan menyemprotkan minyak wangi dari Guy de La Roche. Mudah-mudahan dengan itu wanita yang selama ini ingin kita rebut cintanya menilai kita sebagai manusia yang cukup ‘bonafid’ untuk dicintai dan mencintai. Atau Anda memakai T-Shirt bertuliskan “Kiss me tenderly!”, celana jeans ketat dengan tas jining dari kulit ala Paris Hilton, rambut yang diset seperti Lady Di, dan sepatu tinggi dari Itali. Anda ingin memberi kesan bahwa Anda gadis masa kini yang tidak perlu diragukan.

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempresepsi diri kita. Diri kita bukan lagi subjek penanggap, tetapi subjek yang memberi stimuli. Kita menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus. Bagaimana bisa? Charles Horton Cooley menjelaskan bahwa kita membayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking-glass self (diri cermin); seakan-akan kita sedang bercermin. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita tampan. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita membayangkan ada banyak orang yang tergila-gila dan tertarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga; orang mungkin merasa bahagia atau senang. Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilain diri kita. Ini disebut konsep diri.

Apa yang dimaksud dengan konsep diri? William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and psychological perception of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”; presepsi fisik, sosial dan psikologi kita yang kita peroleh dari pengalaman dan interaksi kita dengan sesama. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri ini boleh bersifat psikologi, social dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilain Anda tentang diri Anda. Jadi, konsep diri meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri Anda. Karena itu Anita Taylor et al. mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about your self”.

Nah, karena komunikasi adalah sesuatu yang inheren dalam diri kita maka keberadaanya tidak dapat ditolak. Kehadirannya merupakan sesuatu yang mesti tanpa pernah diminta. Menolaknya berarti menolak kemanusiaan kita. Agar perkembangan kemanusian kita tumbuh dengan baik, maka kita sedapat mungkin melakukan komunikasi yang efektif. Apa tanda-tanda komunikasi yang efektif? Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi yang efektif paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan sosial yang makin baik, dan melahirkan tindakan.
            Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). (Lasswell 1960).
Analisis 5 unsur menurut Lasswell (1960):
1. Who? (siapa/sumber).
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi,maupun suatu negara sebagai komunikator.
2. Says What? (pesan).
Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima(komunikan),dari sumber(komunikator)atau isi informasi.Merupakan seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan,nilai,gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna,symbol untuk menyampaikan makna,dan bentuk/organisasi pesan.
3. In Which Channel? (saluran/media).
Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator(sumber) kepada komunikan(penerima) baik secara langsung(tatap muka),maupun tidak langsung(melalui media cetak/elektronik dll).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima).
Orang/kelompok/organisasi/suatu negara yang menerima pesan dari sumber.Disebut tujuan(destination)/pendengar(listener)/khalayak(audience)/komunikan/penafsir/penyandi balik(decoder).
5. With What Effect? (dampak/efek).
Dampak/efek yang terjadi pada komunikan(penerima) setelah menerima pesan dari sumber,seperti perubahan sikap,bertambahnya pengetahuan, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar